sistem-etoll-di-indonesia-tidak-efektif-dan-gagal_83.jpg

Sistem e-Toll di Indonesia Tidak Efektif dan Gagal

Jakarta -Sudah hadir selama 7 tahun, sistem pembayaran otomatis di pintu toll (e-toll) belum terlihat efeknya. Banyak pengguna masih membuka kaca mobilnya untuk bertransaksi tunai dengan para petugas pintu toll.

Alhasil antrian panjang dan kemacetan di pintu toll tetap menjadi masalah warga Jakarta dan sekitarnya. Entah sudah berapa banyak keluhan dan sindiran atas hal tersebut.

Pengamat transportasi, Darmaningtyas pun bingung. Karena melihat berbagai indikator utama, tidak ada alasan untuk penggunaan e-toll sulit berjalan. Sehingga kemacetan itu dapat berkurang.

"Saya sendiri juga bingung, kenapa bisa tidak jalan, apa masalahnya?" katanya kepada detikFinance, Senin (15/9/2014)

Darmaningtyas menjelaskan ada tiga faktor utama terkait pelaksanaan e-toll. Pertama adalah regulasi. Dari sisi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung e-toll. Seiring dengan munculnya gerakan transaksi non tunai.

Berbagai bank juga telah mengeluarkan produk e-money sebagai alat transaksi. "Regulasi seharusnya bukan menjadi hambatan," ujarnya.

Kedua adalah dari sisi teknologi. Ia mengaku tidak melihat ada kelemahan dalam jenis teknologi yang diterapkan. Meskipun dari beberapa negara lain cukup banyak menawarkan teknologi yang lebih baik.

"Teknologi itu sudah cukup saya rasa. Kalau kurang, bisa beli ke negara lain itu banyak sekali," ungkap Darmaningtyas.

Faktor ketiga adalah operator toll. Ada kemungkinan pihak operator mengalami masalah internal. Misalnya ketakutan untuk memperkecil jumlah tenaga kerja dari yang ada sekarang. Meskipun sebenarnya, petugas pintu toll bisa dioptimalkan untuk unit lain.

"Memang akan ada pengurangan tenaga kerja. Tapi internal operator pasti punya cara untuk solusinya. Ini yang harusnya disoroti," terangnya.

Lalu bagaimana dengan masyarakat?

Menurutnya, masyarakat hanya butuh beradaptasi. Dengan kondisi kelas masyarakat yang menengah ke atas, adaptasi bukan hal sulit. Hanya saja pihak operator yang harus tegas dalam penerapa sistem.

"Masyarakat kalau terpaksa juga bisa," tegasnya.

Contoh saja saat penggunaan kartu untuk KRL. Darmaningtyas mengakui dalam dua tahun pertama, proses adaptasi masyarakat menjadi sulit. Akan tetapi, dengan berbagai perbaikan, sistem ini dapat berjalan baik.

"Masyarakat butuh penyesuaian, iya. Tapi 1 atau 2 tahun cukup. Tahun ketiga seperti KRL sudah aman. E-toll bisa contoh sistem KRL," paparnya.

Kondisi sekarang telah menjadi bukti sistem ini tak berjalan optimal. Ketika penggunaan uang tunai, maka harus dibutuhkan waktu 5-10 detik dalam bertransaksi. Apalagi banyak modus pengguna yang hanya ingin menukarkan uang.

"Kalau sudah pakai e-toll kan artinya dapat menghemat waktu 10 detik. Kalikan saja dengan ribuan mobil yang melintas. Tak ada lagi kepadatan," tukasnya

(Sumber:finance.detik.com)

Berita Lainnya