ciptakan-pelajar-jujur-dan-kreatif-melalui-un_40.jpg

Ciptakan Pelajar Jujur dan Kreatif Melalui UN

Mulai pekan ini,  seluruh pelajar tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) akan melaksanakan Ujian Nasional (UN). 

Seperti pelaksanaan UN tahun–tahun sebelumnya, semua kemampuan dikerahkan untuk meraih kesuksesan dalam pelaksanaan UN. Berbagai cara pun kerap dilakukan, baik oleh pelajar maupun civitas sekolah. 

Hasil UN pun menjadi dijadikan ajang gengsi siswa maupun sekolah dalam meraih prestasi. Positifnya, sekolah maupun siswa saling berlomba-lomba meraih prestasi dan hasil UN yang tertinggi. 

Paradigma yang berkembang dimasyarakat bahwa tidak lulus UN merupakan aib yang harus dihindari, membuat civitas sekolah dan siswa terkadang melegalkan segala cara.

Masyarakat akan mencemooh dan mencap bodoh bagi peserta yang tidak lulus UN dan akan mencap tidak berkualitas serta kompeten kepada sekolah yang terdapat siswanya tidak lulus UN, membuat praktik ilegal semakin terbuka lebar. Sehingga, perbuatan tidak jujur dan tidak terpuji pun kerap dilakukan siswa atau civitas sekolah.

Mungkin kita sering mendengar pemberitaan di media massa telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Mulai dari kemunculan calo UN, praktik membocorkan soal-soal UN, menyebarkan kisi-kisi jawaban dari civitas sekolah kepada siswa peserta UN, hingga prilaku menyontek yang dilakukan peserta UN. 

Oleh karena itu Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI terus menyempurnakan pelaksanaan UN, sehingga kualitas kelulusan para pelajar kita dapat dibanggakan.
            
Saya meyakini, untuk meraih prestasi dan kesuksesan dalam pelaksanaan UN, bukan dengan cara instan; menyontek, menggunakan calo, atau bahkan membagikan kisi-kisi jawaban soal UN. Cara itu akan menghasilkan generasi bermental instantisme. Generasi yang tidak menghargai proses, yakni proses belajar keras dan sungguh.

Kita harus sadari, para peserta UN tingkat SMA dan SMP pada lima hingga sepuluh tahun ke depan akan menjadi pengganti generasi sebelumnya. Sebagai penerus, maka civitas sekolah harus benar-benar menjadi tulang punggung dalam memberi arah generasi saat ini.

Apakah mereka akan menjadi generasi instan dan menghalalkan segala cara. Atau kita ciptakan generasi yang pekerja keras, yang menghargai proses.

Sekolah menjadi pusat pendidikan benar-benar menghasilkan pribadi-pribadi yang jujur. Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran terlebih oleh kalangan pelajar, sebagai generasi bangsa, pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani.

Pribadi  jujur akan menciptakan pribadi yang menghargai hak karya orang lain. Pribadi jujur akan lebih terbuka dan tidak akan mengambil yang bukan haknya. Pribadi jujur merupakan pribadi yang lebih bangga dengan milik dan karya sendiri tanpa dan tidak bangga dengan karya plagiat.

Dengan modal prinsip kejujuran menciptakan kepribadian jujur, maka akan mudah menciptakan pribadi yang kreatif dan inovatif. Karena tanpa kejujuran, maka kreativitas tidak akan bisa berkembang.

Dr Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Tarbiyyatul Aulad Fil Islam menyebutkan ada lima metode dalam menciptakan generasi kreatif, diantaranya:

  1. Mendidik anak dengan keteladanan yang baik, orang tua harus memberikan contoh yang baik setiap hari dalam berbagai hal.
  2. Mendidik anak dengan pembiasaan yang baik, segala hal yang baik sudah harus dibiasakan dilaksanakan sejak dini.
  3. Mendidik anak dengan pengajaran dan dialog.
  4. Mendidik anak dengan pengawasan dan nasihat
  5. Memberikan punishment dan reward. Apabila anak tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sementara perintah yang lemah lembut sudah diberikan.

Sekolah memiliki peran yang besar dalam pendidikan anak karena mereka yang berhak melakukan proses pendidikan formal. Keberhasilan pendidikan anak di sekolah sangat tergantung pada kualitas guru, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan dan juga anak itu sendiri.

Cara guru mengajar yang lebih mengutamakan hafalan daripada pemahaman membuat anak lebih sering menggunakan otak kiri daripada otak kanan. Sehingga proses pendidikan di sekolah terasa kaku, membosankan dan cenderung mematikan kreatifitas dan kemandirian anak. (sumber : Republika.co.id)/@r_7

Berita Lainnya